PANJI-PANJI DA’WAH
ISLAMIYAH
I. PENDAHULUAN
Benda-benda peninggalan kuno suatu warisan leluhur
yang diketahui atau diperkirakan pernah dimanfaatkan dalam suatu kurun waktu
tertentu, tak dapat tidak tentulah mengandung nilai-nilai historis atau paling
sedikit memiliki aspek-aspek kultural.
Terhadap benda-benda seperti ini kadang-kadang
menimbulkan side effect (efek sampingan) yang kurang wajar oleh karana adanya
sikap masyarakat awam yang kemudian secara tidak sadar menganggapnya sebagai
benda-benda keramat atau bahkan mungkin lebih dari pada itu.
Sikap atau anggapan masyarakat yang seperti itu
biasanya secara beranting menimbulkan tarikan perhatian dan lebih jauh
berkembang dengan lahirnya semacam legenda yang terjalin dengan baik dan tepat.
Jalinan cerita ini kadang-kadang mengarah pendekatannya kepada sifat rational apabila
dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada dan kadang-kadang pula mungkin
sebaliknya.
Dalam hubungannya dengan benda-benda peninggalan lama
yang mengandung nilai-nilai historis ini atau setidak-tidaknya menyentuh aspek
budaya, ada dua lembar panji-panji sebagai benda peninggalan kuno yang sampai
kini masih tersimpan dengan baik dikampung Jatuh. Kampung
Jatuh (6 Km dari kota Barabai) termasuk dalam wilayah Kecamatan Pandawan,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Oleh masyarakat dalam wilayah Kecamatan Pandawan
terhadap benda peninggalan lama ini dinamakan mereka dengan “Panji-panji”,
suatu bendera berbentuk segi tiga yang lancip dan runcing keujung. Panji-panji ini
hingga sekarang tetap tersimpan dirumah zuriat almarhum Haji Muhammad Yusuf seorang ulama tertua didaerah ini yang telah meninggal
pada tahun 1938.
Perhatian masyarakat terhadap Panji-panji ini
demikian besar, hal itu dibuktikan dengan adanya kunjungan-kunjungan masyarakat
setempat dan juga oleh masyarakat luar daerah untuk menyaksikannya. Pada
umumnya kunjungan tersebut hanyalah bersifat ingin melihat, sekaligus dalam
kesempatan acara kunjungan silaturrahmi pada hari-hari raya Aidil Fitri atau
Aidil Adha. Namun demikian kunjungan dari Pejabat-pejabat tertentu juga sering
datang ketempat ini. Begitu pula telah adanya beberapa kali team penelitian
dari Jakarta yang sengaja datang untuk meneliti Panji-panji tersebut.
II. PANJI-PANJI DA’WAH
ISLAMIYAH
Panji-panji pada umumnya berupa bendera dalam bebagai
bentuk, segi empat, segi tiga, atau kadang-kadang dengan dasar segi empat
tetapi diberi rencong berganda diujungnya. Begitu pula tentang penempatan
komposisi warna, gambar dan tulisan merupakan kebebasan dalam pembikinan suatu
Panji-panji menurut penciptanya.
Namun Panji-panji yang ada tersimpan di Kampung Jatuh ini jelas merupakan suatu aspek dari pada Da’wah Islamiyah,
sehingga untuk itu dapat dinamakan sebagai Panji-panji Da’wah Islamiyah.
Sebab yang tergambar atau tertulis dalam Panji-panji
itu terlihat jelas adanya fokus dari makna yang terkandung didalamnya, yang
terarah kepada “Ke-Esaan Allah”, dijalin dengan
dengan komposisi khot yang menarik.
Bebicara tentang Da’wah Islamiyah maka hal itu adalah
merupakan suatu kewajiban bagi semua muslim untuk menyeru kepada jalan
kebajikan menurut kaidah agama Islam sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
S.W.T. dalam kitab suci Al-Qur’an, surat Ali Imran 104:
Al-ajat
Wal takum minkum ummatuy-yad’uuna ilai khairiwa
ya’muruuna bil ma’ruufi wa yanhauna’anil munkar, wa ulaa-ika humul muflihun.
Artinya :
“Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat penyebar da’wah kepada kebajikan, menyuruh berbuat
baikdan melarang dari pada kejahatandan mereka inilah orang-orang yang mendapat kemenangan”.
Malaksanakan Da’wah Islamiyah dalam arti yang luas
tentulah terhimpun beberapa segi yang bisa ditempuh baik dalam bentuk
panyampaian yang berwujud pembicaraan, tulisan atau perbuatan lain, teguran,
teladan dan sebagainya.
Hal itu antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Da’wah Islamiyah dalam bentuk pembicaraan dalam
melaksanakan kegiatan seperti ceramah, penyuluhan, penerangan dan sebagainya.
2.
Da’wah Islamiyah dalam bentuk tulisan dapat dikemukakan
dalam bentuk buku, majalah, brosur, surat kabar, risalah, dan sebagainya.
3.
Da’wah Islamiyah dalam bentuk suatu perbuatan
misalnya mendirikan mesjid, langgar, sekolah-sekolah pendidikan Islam, pondok
pesantren rumah anak yatim piatu, dan sebagainya.
4.
Da’wah Islamiah dalam bentuk teguran misalnya
menberikan teguran terhadap suatu pihak yang akan berbuat munkar dan
sebagainya.
Dalam kaitannya dengan
Panji-panji tersebut diatas maka adanya Panji-panji ini merupakan suatu aspek
Da’wah Islamiyah yang dapat dikatagorekan dalam bentuk memperbuat sesuatu.
Dengan Panji-panji yang merupakan suatu benda yang dapat diwariskan dari suatu
kurun waktu tertentu kepada kurun waktu berikutnya, memberikan pengaruh yang
positif terhadap kegitan Da’wah yang terkandung didalamnya.
Apalagi apabila dikaji dalam makna yang terkandung didalam ayat-ayat
yang tertulis dlam Panji-panji warisan leluhur itu.
III. BENTUK DAN ISI
PANJI-PANJI
Panji-panji yang sudah tua usianya ini diperkirakan
sudah berusia 300 tahun. Kain dengan warna dasar
(diperkirakan) kuning dan tulisan hitam itu sudah terlampau kabur, baik warna
maupun tulisannya. Sementara itu keutuhan bahan kain itu juga sudah berangsur
lapuk karena melampaui waktu yang sangat lama.
Dua lembar Panji-panji ini berbentuk dan berukuran
sama begitu pula tulisan-tuliasan khot yang tertera didalamnya. Bentuk yang segi tiga tersebut mempunyai ukuran
panjang 175 cm dan tinggi 90 cm yang membentuk
sudut 90 derajat. ukuran sisi miring bagian bawah adalah sepanjang 195 cm.
Pada lembaran Panji-panji ini penuh berisi tulisan-tulisan Arab dalam
bentuk khot yang tertulis cukup indah, suatu hasil kreativitas yang berbaur
antara huruf Arab dengan unsur seni yang bervariasi.
Namun karena telah melampaui usia yang sangat lama
maka tulisan-tulisan khot itu sudah banyak yang sukar dibaca. Diantara yang
masih dapat dibaca ialah tulisan-tulisan dalam bentuk gambaran dan ornamen sebagai
berikut:
1. khot
Huallahu laa
ilaaha huwar rahmaanur rahiim.
Tulisan ini tersusun dalam urnamen yang
dilingkari semacam lembaran daun yang masih dapat dilihat dan terdapat sebanyak
6 tulisan pada selembar panji-panji.
2. khot
Laa ilaa ha illallah,
Muhammadur rasulullah.
Tulisan ini terdapat pada seluruh
pinggiran lembaran panji-panji dan juga lembaran bagian dalam. Kalimat ini
berjumlah 7 tulisan pada selembar Panji-panji. Tinggi huruf sekitar 6,5 cm.
3.
khot
Salamun qaulam
mirrabbir rahiim.
Ayat ini merupakan tulisan yang paling
kecil hurufnya hanya setinggi 1 cm.
4.
khot
Muhammad
Tulisan “Muhammad” terjalin dalam ornamen berbentuk segi
tiga sama kaki yang terdapat sebanayk 6 buah tulisan pada selembar panji-panji
tersebut.
5.
Tulisan wafak yang terdiri dari 5 baris dalam 7 kolom dimana pada
setiap kotak-kotak kolom tertera angka-angkaarab sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Disamping tulisan seperti disebutkan diatas masih
terdapat lagi beberapa tulisan yang sukar dibaca karena sudah terlampau kabur.
IV. CERITA YANG BEREDAR DIMASYARAKAT
Adanya Panji-panji ini melahirkan suatu cerita yang
beredar secara luas dalam kalangan masyarakat, tidak saja dalam lingkungan
masyarakat kampung Jatuh sendiri tetapi juga cukup tenar bagi masyarakat dalam
daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Sejak mana kebenaran cerita tentang Panji-panji ini juga
belum dapat ditentukan secara pasti, disebabkan karena ceritanya yang tidak
berkesinambungan secara nyata dan terperinci yakni dalam versi yang
terputus-putus, tetapi juga terselubung dengan unsur-unsur yang kadang-kadang
bersifat
legendaris dan fantastis.
Menurut cerita yang dituturkan oleh sementara
orang-orang tua di kampung Jatuh bahwa dua lembar Panji-panji ini dibawa oleh
seorang Haji, yang bernama Haji Said yang pulang
kedaerah Banjar setelah menunaikan ibadah Haji ditanah suci Mekah sebagai pelaksanaan dari rukun Islam yang kelima. Dia
pulang membawa dua lembar Panji-panji sebagai barang amanat yang harus disampaikan.
Disamping dua lembar Panji-panji ini juga telah dibawa sebuah kitab suci
Al-Qur’an sebagai hadiah dari warga Raja Arab Saudi dalam rangka
menyebar luaskan Da’wah Islamiyah.
Keberangkatannya menuju pulang ketanah Jawi
(Indonesia) adalah menumpang kapal laut yang memakan waktu beberapa bulan.
Tetapi malang ketika kapal sudah mendekati tanah Jawi tiba-tiba datang angin
topan yang memecah dan menenggelamkan kapal tersebut. Semua penumpang yang
terdiri dari jemaah Haji tersebut
tenggelam dan ternyata masih beruntung ada beberapa orang yang terdampar dengan
selamat dipantai, diantaranya seorang jemaah Haji yang berasal dari daerah
Banjar yang bernama Haji Said tersebut.
Oleh karena dia membawa amanat penting tentang
Panji-panji dan Al-Qur’an untuk dibawa, maka kedua benda inilah yang seadanya
mungkin dibawa ketika dalam mengalami musibah tenggelam kapal tersebut.
Kedua lembar Panji-panji dan sebuah Al-Qur’an
tersebut dibawa menuruti jalan-jalan pantai yang tidak berpenghuni manusia
tersebut.
Ketika beberapa lama mengedari daerah pantai tersebut
diketemukannya sebatang pohon besar yang sama sekali tidak mempunyai daun. Haji
Said berfikir bahwa dari atas pohon yang tinggi ini mungkin dapat dilihat dari
arah sana adanya perkampungan orang. Dengan berfikir demikian dipanjatnyalah
pohon besar dan tinggi tersebut hingga sampai kepuncaknya.
Namun harapannya itu juga sia-sia, karena apa yang
dapat dilihat dari jarak tinggi dan jauh tersebut tidak lain hanya hutan
belantara semata-mata. Harapannya untuk menemukan perkampungan orang menjadi
semakin jauh.
Hari semakin senja dan dia masih tetap berada diatas
puncak pohon besar tersebut. Tetapi tak terduga olehnya bahwa sebentar lagi
datang kesana seekor burung garuda yang besar. Rupanya pohon tersebut adalah tempat
kediaman burung garuda.
Disamping adanya rasa takut terhadap burung garuda
yang buas itu Haji Said juga berfikir barang kali dengan melalui burung buas
ini ia dapat bebas dari pohon tinggi tersebut dan dapat menemukan perkampungan
orang. Akhirnya setelah berfikir cukup lama, dia memutuskan untuk memberanikan
diri memperalat burung garuda tersebut.
Pada waktu tengah malam ketika burung garuda tersebut
sedang tidur nyenyak,dikaitkannyalah badannya ke kaki burung garuda
yang besar tersebut dengan satu-satunya serban yang
dipakainya, yaitu serban salami yang berwarna kekuning-kuningan.
Keesokan harinya burung garuda itu terbang
meninggalkan pohon. Haji Said yang telah nekat berada dikaki burung garuda
tersebut ikut terbang tinggi diudara, sambil memegang satu-satunya benda
Panji-panji dan Al-Qur’an.
Setelah beberapa lama terbang diudara akhirnya burung
garuda itu terbang merendah dan dari atas tampak beratus ekor kerbau sedang
asyik makan rumput dilapangan hijau ditepi sungai.
Rupanya burung garuda itu mencari makan dan sedang
mengintai salah seekor kerbau untuk dijadikan mangsa.
Haji Said berfikir bahwa pada kesempatan inilah dia
akan turun ketanah. Pastilah disitu ada perkampungan orang, sebab kerbau-kerbau
itu tentulah ada yang memeliharanya.
Pada saat burung garuda itu turun ketanah dan
menyambar seekor kerbau maka Haji Said secepatnya melepaskan diri dari ikatan
badannya pada kaki burung garuda tersebut.
Setelah berada ditanah, diapun berjalan sambil
membawa Panji-panji dan Al-Qur’an untuk mencari perkampungan orang.
Kemudian dia ingat bahwa Panji-panji dan Al-Qur’an
yang sedang dibawanya tersebut harus disampaikan pada suatu tempat yang
ditentukan akan syarat-syaratnya.
Dalam menyampaikan barang berupa amanat ini terdapat
syarat-syarat yang harus diperhatikan yaitu:
1.
Letakkan kedua Panji-panji dan Al-Qur’an ini diatas tanah tinggi pada
halaman sebuah mesjid, atau disitu harus ada tanda-tanda akan dibangun sebuah
mesjid.
2.
bangunan mesjid itu berada pada persimpangan sungai yang bercabang
tiga.
3.
disamping mesjid tersebut ada terdapat sebuah sumur.
4.
sungai yang bercabang tiga tersebut arus airnya masing-masing menuju
kekiri dan kekanan.
Ketika beberapa lamanya berjalan akhirnya diketemukannya perkampungan
orang. Tetapi dia merasa heran karena diperkampungan tersebut semua penduduk
terdiri dari wanita seluruhnya. Tidak seorangpun terdapat pria dikampung
tersebut. Kedatangannya dikampung itu justru mendapat perhatian semua penduduk
wanita disana.
Setelah diperhatikannya kampung tersebut terdapatlah tanda-tanda tempat
seperti apa yang telah dipesankan didalam amanat untuk menyampaikan Panji-panji
dan Al-Qur’an tersebut.
Ada bangunan mesjid yang sederhana berada pada persimpangan sungai.
Didepannya terdapat tanah yang agak tinggi.
Dengan tidak ragu-ragu lagi diletakkannya kedua lembar Panji-panji dan
Al-Qur’an pada tanah tinggi dihalaman mesjid tersebut, sebab menurutnya tempat
itu telah sesuai sekali dengan pesan dan amanat.
Setelah Panji-panji dan Al-Qur’an tersebut diletakkannya disana, dia
perhatikan sungai didepannya yang juga menurutnya sangat aneh yaitu sungai yang
becabang dua tersebut, aliran cabang yang satu airnya jernih sedang aliran
cabang yang kedua airnya keruh.
Kerena tertarik dengan warna airnya yang keruh itu, dicelupkannyalah
telunjuknya kepermukaan air tersebut. Dan betapa terkejutnya setelah
dianggkatnya keatas tulunjuknya tiba-tiba sekejap lalu menjadi batu.
Setelah beberapa lama terkejut, heran dan bercampur sedih, akhirnya dia
insyaf bahwa hal itu tentulah sudah
kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Lebih baik dari pada badanku menjadi batu seluruhnya. Tentulah kejadian
ini ada hikmahnya, demikian pikir Haji Said.
Atas kejadian itu dia kemudian memberi gelar dirinya Haji Batu, dan
telunjuknya yang menjadi batu tersebut benar-benar ada hikmahnya. Sebab dengan
telunjuk batu itu dia kemudian menjadi tabib yang dapat menyembuhkan penyakit.
Adapun kampung itu bernama Banua Budi
dan wanita-wanita penduduk kampung tersebut semuanya menderita penyakit yang
sulit disembuhkan. Apabila ada seorang pria yang kawin dengan wanita tersebut,
akhirnya semuanya meninggal dunia disebabkan panyakit isterinya. Itulah
sebabnya pada akhirnya habislah seluruh pria dikampung Banua Budi tersebut.
Atas kejadian yang menyedihkan ini Haji Batu menjadi terpanggil hatinya
untuk berusaha menyembuhkan penyakit wanita-wanita malang yang menyeluruh itu.
Sebab pikirnya apabila keadan ini terus-menerus, kampung Banua Budi itu akan
rusak dan mesjid itu pasti tidak akan ada yang membinanya.
Dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Haji Batu akhirnya dapat
menyembuhkan penyakit wanita-wanita itu berkat khasiat telunjuk batunya. Dan
wanita-wanita kampung Banua Budi itu dapat kawin lagi tanpa menyebabkan
kematian suaminya.
Kampung Banua Budi tersebut
berangsur-angsur menjadi ramai karena adanya perkawinan dan anak-beranak.
Oleh karena Panji-panji dan Al-Qur’an tersebut menjadi pilihan di
”jatuh” kannya ditempat itu, maka kampung Banua Budi tersebut kemudian diubah
dengan nama baru, yaitu kampung “Jatuh” nama
kampung yang sampai sekarang tetap dipakai.
Demikianlah menurut cerita yang beredar dan menjadi kepercayaan
sementara penduduk didaerah ini mengenai asal mula diketemukannya Panji-panji
dan Al-Qur’an tersebut.
Namun demikian khususnya tentang Panji-panji itu masih ada lagi cerita yang lebih cenderung kepada
motif legendaris yang menceritakan bahwa Panji-panji tersebut “jatuh” dari langit.
Kejadian itu pada suatu malam ke 21 bulan puasa
(Banjar : malam salikur) yaitu bulan
Ramadhan. Jatuhnya Panji-panji tersebut
memang tepat pada bagian tanah tinggi dihalaman mesjid yang berada pada simpang
tiga sungai.
Dengan jatuhnya ditempat itu pulalah yang menyebabkan kampung itu
diberi nama kampung “Jatuh”.
Sementara itu dari sumber lain menceritakan bahwa Panji-panji dan
Al-Qur’an tersebut dibawa oleh seorang
penyebar agama Islam yang bernama Said Muhammad Yusuf
berasal dari Martapura, salah seorang penasehat
agama Kerajaan Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi.
Beliaulah yang meletakkan Panji-panji dan Al-Quran tersebut
pada mesjid yang berada dikampung Banua Budi dan kemudain kampungnya berubah
nama dengan Kampung “ Jatuh ”.
Tanah tinggi tempat jatuhnya Panji-panji tersebut merupakan tanah
tinggi halaman mesjid yang sampai sekarang memang menjadi semacam kepercayaan
pula oleh sementera masyarakat setempat. Dikatakan bahwa tanah tempat
berdirinya bangunan mesjid tersebut tampaknya seakan-akan semakin tinggi.
V. MESJID AL
A’LA
Mesjid yang berdiri pada
simpang tiga sungai dikampung Jatuh telah merupakan mesjid yang sangat tertua,
diperkirakan didirikan pada pertengahan abad ke 17. tempat ibadah ini
bernama mesjid Al A’la (Bahasa Arab : A’la =
tinggi), suatu nama yang disesuaikan pula menurut kepercayaan penduduk
tentang tingginya halaman mesjid tersebut.
Sedangkan sungai yang bercabang dau tersebut
bernama Batang Banyu Jatuh yang mengalir menuju Hilir Banua dan cabangnya
barnama sungai Ringsang menuju kampung Pamatang. Cabang sungai ini sudah mati
dan ditumbuhi pohon rumbia.
Antara Panji-panji dan Al-Qur’an yang mengandung
nilai-nilai historis dengan mesjid Al-A’la ini tampaknya seakan-akan ada
kaitannya satu sama lain. Berdasarkan cerita setempat seperti yang diuraikan
ini memanglah hal itu demikian.
Suatu sumber yang memberikan catatan tentang
pembinaan mesjid Al-A’la ini mengatakan bahwa orang yang masih dikenal sebagai
pembina utama ialah Penghulu Muda Yuda Lelana pada
awal abad ke 19 . Baliau adalah pimpinan agama didaerah ini.
Disamping itu beliau juga dikenal sebagai pimpinan Pasukan Baratib yang mengadakan
perlawanan bersenjata terhadap penjajah Belanda. Pasukan
Baratib maksudnya adalah pasukan rakyat yang selalu berzikir menyebut nama
Allah, lebih-lebih pada saat bertempur.
Sebuah pertempuran yang sengit terjadi di anak
kampung Pinangin yang berhasil menewaskan
beberapa serdadu belanda termasuk diantaranya pimpinan pasukan kapiten Van der Heide.
Pada saat itu mesjid Al-A’la berfungsi sebagai markas
pasukan Baratib guna mengatur siasat pertempuran.
Panji-panji peninggalan kuno yang bertulisan zikir tersebut
telah turut memberi semangat kepatriotan rakyat melawan tentara penjajah
belanda, karena Panji-panji inilah yang dipakai sebagai bendera Pasukan Baratib
tersebut. Sedangkan kampung Pamatang disebelah timur nya pada waktu dulu
dikenal dengan nama kampung Pematang Paunduran,
suatu benteng pertahanan terakhir ketika rakyat disitu mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Pematang Paunduran merupakan
istilah Bahasa Daerah Banjar yang berarti “Dataran
tempat untuk mundur” yaitu daerah untuk bertahan.
Tanah tempat berdirinya
Mesjid Al-A’la ini adalah tanah wakaf yang berasal dari turunan keatas dari
Penghulu Muda Yuda Lelana. Setelah
meninggalnya Yuda Lelana mesjid tersebut diteruskan
pembinaannya oleh kedua putra beliau, yaitu Haji Abdurrahman dan Abu Hamid
(Buamid).
Sekitar tahun 1290 Hijriah (+ 1874
Masehi) mesjid Al-A’la dilakukan rehabilitasi tahap ke 2 mendapat perluasan dengan ukuran 13x13 meter yang
dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bin Haji Abdurrahman.
Pembinaan mesjid ini semakin berkembang lagi baik
luasnya maupun bentuk konstruksinya yang diprakarsai lebih lanjut oleh
putera-putera H. Muhammad Yusuf yaitu Haji Dahlan, Haji Hasan Baseri, Haji
Syibeli, Haji Muhammad Arsyad. Haji Muhammad As’ad dan Haji Muhammad Rafei.
Rehabilitasi tahap ke 3 ini dilakukan
pada tahun 1953 Masehi.
Suatu anggapan masyarakat yang telah berkembang lama
dan luas menyatakan mesjid Al-A’la tersebut merupakan mesjid tertua yang
mempunyai nilai-nilai historis dan dalam pembangunan asal mulanya. Sehingga
sampai kini mesjid Al-A’la itu selalu dikunjungi oleh kelompok-kelompok
masyarakat tertentu dari luar daerah.
Memang apabila kita
perhatikan uraian diatas serta bentuk bangunan mesjid Al-A’la ini mengandung
nilai-nilai historis dan nilai-nilai kekunoan yang dapat dibandingkan
dengan mesjid-mesjid kuno lainya seperti diluar daerah.
Ciri-ciri kekonoan tersebut antara lain dapat dilihat
pada mesjid Al-A’la ialah:
1.
konstruksi atap dalam bentuk atap tumpang yang mengecil keatas dan
puncaknya terpasang semacam mustika (Banjar : sungkul).
2.
sekeliling bangunan bagian bawah terdapat ruang terbuka berupa serambi
yang kadang-kadang dimanfaatkan dalam fungsi-fungsi tertentu.
3.
guna keperluan muazzin (bilal) menyampaikan azan dibikinkan suatu
tempat pada puncak bagian tengah dalam mesjid yang dinaiki melalui tangga kecil
yang khusus dibuat untuk itu.
Adapun kunjungan–kunjungan kelompok-kelompok masyarakat tertentu
kemesjid ini biasanya berlangsung pada hari pertama, kedua atau ketiga hari
besar Aidil Fitri dan Aidil Adha.
Mereka tidak sekedar untuk berkunjung untuk melihat mesjid Al-A’la
tersebut tetapi juga melaksanakan sembahyang sunat atau sembahyang fardhu jika
kebetulan waktunya (sholat zhuhur dan asyar). Dan sebagai acara cukup penting
dalam kunjungan mereka adalah mengadakan acara selamatan dengan membawa
sejumlah kue khas Banjar seperti apam
putih, apam habang, cucur putih, cucur habang dan ketupat.
Penjaga mesjid (Banjar : kaum) sebagai petugas mesjid Al-A’la yang
biasanya cukup bermurah hati, biasanya melayani kedatangan rombongan pengunjung
dengan baik.
Pengunjung yang biasanya dalam jumlah kelompok besar mengikut sertakan
anak isteri dan famili mereka.
Dalam pengalaman-pengalaman selama adanya kunjungan masyarakat luar daerah
kemesjid Al-A’la ini terdapat hal-hal yang tampak cukup unik.
Bayi atau anak mereka sebelumnya dicucikan mukanya dengan air yang ada
di kolam mesjid dan kemudian bayi atau anak mereka yang putra di jajakan
kakinya ke anak anak tangga mimbar mesjid yang berada pada bagian mihrab.
Dengan demikian mereka sambil berdo’a dalam hati mengharap semoga anak
mereka itu nanti menjadi seorang anak yang tidak jauh sikap dan kepribadiannya
dari tata kehidupan dalam lingkungan mesjid.
Khususnya bagi seorang putera mereka menginginkan untuk kemudian
nantinya menjadi seorang ulama yang pada suatu saat nanti menjejak anak tangga
mimbar untuk berkhotbah menjadi khatib.
Doa atau keinginan orang tua untuk anak-anak mereka seperti ini memang
pantas dipujikan sepanjang tidak tergeser dari kaidah-kaidah agama Islam dalam
melaksanakan antara niat dan perbuatan.
Apabila mereka telah melaksanakan acara selamatan ( Banjar : batumbang
) di mesjid Al-A’la itu biasanya rombongan tersebut berkunjung kerumah zuriat
almarhum Haji Muhammad Yusuf yang berjarak lebih kurang 50 m guna menyaksikan
Panji-panji, benda peninggalan kono tersebut.
VI. PEMILIK
PANJI-PANJI
Sampai sekarang Panji-panji ini disimpan disimpan
dirumah zuriat Haji Muhammad Yusuf sebagai pemelihara yang merupakan warisan
leluhur dan dimiliki secara turun-temurun. Memang tidak tercatat dengan jelas
sejak kapan Panji-panji itu dimiliki oleh keluarga ini,tetapi benda warisan kuno ini demikian lama
dipelihara.
Menurut silsilah, almarhum Haji Muhammad Yusuf adalah putera dari Haji Abdurrahman yang bersaudara
dengan Abu Hamid (Buamid). Sedangkan orang tertua dari Haji Abdurrahman
bernama Yuda Lelana ( red: Abu Sulaiman ) seorang Penghulu Muda dan
Pemimpin Pasukan Baratib yang berperang melawan tentara Belanda. Mungkin nama
Yuda Lelana
adalah nama samaran seperti kebanyakan nama-nama pejuang gerilya guna menyamarkan diri.
Pada masa revolusi fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan RI.
Sekitar tahun 1945 selama beberapa tahun Panji-panji tersebut disimpan sangat rahasia
oleh zuriat Haji Muhammad Yusuf karena
dikhawatirkan akan diambil oleh tentara Belanda.
Sedangkan sebuah Al-Qur’an yang dibawa bersama Panji-panji tersebut
menurut sepengetahuan masyarakat didaerah ini berada dikampung Kalaka yang
berjarak lebih kurang 6 Km dari kampung Jatuh. Al-Qur’an tersebut ditulis
dengan tulisan tangan diatas kertas warna putih dengan tulisan tinta (dawat)
berwarna hitam.
Terpisahnya pemeliharaan antara Panji-panji dengan Al-Qur’an tersebut
tidak diketahui bagaimana terjadinya karena hal itu sudah berlangsung lama
sekali.
VII. PEMELIHARAAN
PANJI-PANJI
Panji-panji sebagai benda peninggalan kono yang
diperkirakan telah berumur 300 tahun itu merupakan suatu benda yang mengandung
nilai budaya, perlu dipelihara dengan baik sehingga secara fisik tetap dalam
keadaan aman. Dalam hubungannya dengan kewajiban untuk memelihara Panji-panji
ini maka hal itu sesuai dengan isi perundang-undangan lama dijaman Pemerintahan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Indonesia yang hingga kini masih tetap
berlaku, yaitu produk perundangan yang dikenal dengan nama Monumenten Ordonantie Tanggal 30 Juni 1931 yang termuat dalam
Staatsblad (lembaran negara) Nomor 238 tahun 1931.
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 sub a monumenten
ordonnantie ini jelaslah bahwa panji panji tersebut diatas dapat dikatagorikan
sebagai suatu benda yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah atau
suatu kesenian mengingat usianya sudah melebihi lebih 50 tahun. Dalam arti yang
luas panji – panji ini juga merupakan suatu aspek monumen yang menjadi benda
museum purbakala.
Lengkapnya bunyi pasal 1 ordonnantie tersebut ialah
sebagai berikut :
1.
Yang dianggap sebagai monumen dalam peraturan ini :
a.
Benda – benda bergerak maupun taak bergerak yang dibuat oleh tangan
manusia, bagian atau kelompok benda – benda dan juga sisa –sisanya yang pokoknya berumur 50 tahun dan dianggap
mempunyai nilai penting bagi pra sejarah, sejarah dan kesenian.
b.
Benda – benda yang diatas dianggap mmpunyai nilai penting dipandang
dari sudut palaeontropologi.
c.
Situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa didalamnya
terdaapat benda – benda yang dimaksud pada
a. dan b. Segala sesuatu bilamana benda–benda tersebut baik tetap
ataupun sementara, telah dicantumkan dalam daftar, disebut daftar monumen umum
pusat yang disusun dan dikelola atas usaha kepala dinas purbakala.
2.
Benda-benda bergerak atau tidak bergerak yang menurut tujuan semula
atau tujuan masa kini termasuk kelompok-kelompok benda-benda tersebut dalam 1-a
dan situs tanamannya, bengunannya atau keadaan pada umumnya memiliki atau dapat
memiliki kepentingan langsung bagi benda-benda dibawah 1-a, dipersamakan dan
didaftarkan bersamaan dengan benda-benda dibawah 1-a.
Terhadap pemilik Panji-panji yang sekarang tersimpan dirumah keluarga
zuriat Haji Muhammad Yusuf , kampung Jatuh, Kecamatan Pandawan kabupaten Hulu
Sungai Tengah, berlaku suatu kewajiban pemeliharaan seperti tersebut pada pasal
5 ayat 1 Monumenten Ordonantie tersebut yang berbunyi:
“Pemilik atau yang berhak mengusai sebuah monumen berkewajiban memeliharanya
dalam keadaan baik”.
Sehubungan dengan pemeliharaan Panji-panji ini pula disini dicatat
pasal-pasal dalam Monomenten Ordonnantie tahun 1931 itu yang sedikit banyaknya
bermanfaat bagi kelangsungan kewajiban pemeliharaan Panji-panji itu.
Pasal-pasal itu ialah :
Pasal 6 ayat 2 :
Tanpa izin Kepala Dinas purbakala dilarang memperbaiki sebuah monumen,
menghancurkannya, merubah wujudnya, bentuk atau penggunaanya, mengambil
benda-benda yang tidak bergerak dari sebuah monumen atau memindahkan kelain tempat
benda-benda bergerak milik monumen ataupun bagian dari monumen.
Pasal 7 ayat 1 :
Dalam hal pemindah tanganan sebuah monumen maka pemilik atau yang
berhak wajib memberitahukan tentang pemindah tanganan itu sedikit-dikitnya 14
hari sebelumnya kepada Kepala Dinas Purbakala.
Pasal 7 ayat 2 :
Barangsiapa kehilangan atau memperoleh sebuah monumen wajib
memberitahukan dalam waktu yang ditetapkan dalam Ayat 1 (pasal 7), kepada
Kepala Dinas Purbakala dengan atau perantaraan pejabat Pamong Praja ; dalam hal
kehilangan perlu diterangkan keadaan terjadi kehilangan tersebut.
Pasal 12 ayat 1 :
Pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan-ketentuan dibawah ini pasal 6
ayat 1 atau 2 dan pasal 9, tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan dengan pasal 7 ayat 1 atau 2 atau pasal ayat 1 maupun tidak
dipenuhinya syarat-syarat yang dianjurkan dibawah pasal 6 ayat 3 dan pasal 9,
dihukum dengan tahanan sebanyak-banyaknya tiga bulan atau denda uang
setinggi-tingginya 50 gulden.
Sebagai tindak lanjut dari pada monumenten Ordonnantie tahun 1931 yang
masih berlaku tersebut oleh Pemerintah dikeluarkan beberapa produk penetapan
lainnya yang merupakan peraturan pelaksanaan berupa instruksi dan Surat
Keputusan. Peraturan itu antara lain adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor
: 65/1/7, tanggal 5 Februari 1960 tentang Pelanggaran-pelanggaran terhadap
Monumenten Ordonnantie S. No. 238tahun 1931 ; Surat Keputusan bersama Menteri
perdagangan, menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral, nomor :27
A/Kbp/II/1970, nomor : Kep-62/MK/III/2/1970, nomor : Kep.3CBI/1970, tanggal 23
Maret 1970, tentang pembawaan/pengiriman Barang-barang Keluar Daerah Pabean
Indonesia : Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor : 8/M/1972
tanggal 15 Agustus 1972 tentang Pengamanan Benda-banda Purbakala, Instruksi
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, nomor :
Ins-002/Kopkan/I/1973 tanggal 8 Januari 1973 tetang Pengamanan Cagar Nasional
Indonesia.
VIII. PENUTUP
Dengan melihat beberapa kutipan pasal-pasal yang
tercantum dalam Monumenten Ordonnantie tahun 1931 tadi dapatlah kita pahami
bahwa benda-benda peninggalan lama yang merupakan aspek monumen tersebut adalah
suatu kazanah budaya yang wajib dipelihara. Bahkan untuk menjamin kepastian
pengamanan terhadapnya Pemerintah memberikan sangsi-sangsi
pelanggar-pelanggarnya.
Kesadaran akan kewajiban ini tidak saja berlaku
terhadap pemilik atau yang berhak mengusai, tetapi juga kepada semua pihak.
Panji-panji sebagaimana dibicarakan dalam uraian ini
merupakan warisan leluhur, suatu peninggalan kono yang memiliki nilai historis,
nilai kultural dan nilai Da’wah Islamiyah adalah perlu kita pelihara
keamanannya.
Betapapun keadaanya pada dewasa ini, namun
Panji-panji itu tak dapat dinilai harganya. Panji-panji yang isinya bernilai
Da’wah Islamiyah itu merupakan benda museum yang harus dilindungi dalam
rangkaian perlindungan cagar budaya nasional Indonesia.
CATATAN : Panji panji
tersebut, kini dipelihara oleh Saudara Jakfar Sadiq No Telepon. 0852 4891 7623
cucu dari Haji Dahlan, anak tertua dari Haji Muhammad Yusuf Bin Haji
Abdurrahman…